Melepas Kelana “Sang Pendekar Mabuk”

Posted on Updated on

Dalam waktu yang berdekatan kita kehilangan tokoh-tokoh besar, antara lain Nurcholis Madjid, kemudian WS Rendra dan yang terbaru Gus Dur.

Tidak sedikit di antara kita yang memiliki pandangan negatif terhadap Gus Dur karena sikap dan pernyataan-pernyataannya seputar isu-isu Palestina, terorisme dan lainnya. Pandangan-pandangan Gus Dur yang kerap dilontarkan secara sporadis, spontan dan emosional sering menimbulkan kontroversi dan kesalaphaman serta multi tafsir. Sehingga tidak jarang, memerlukan klarfikasi, meski hal itu sulit didapatkan. 

Dalam bidang politik nasional, sudah bukan rahasia lagi, pernyataan-pernyataannya yang pedas dan kadang terkesan serampangan, menimbulkan kegerahan bagi lawan juga kawan. Gus Dur bagai “pendekar mabuk” yang melancarkan jurus-jurus yang tidak bisa diprediksi oleh siapapun, bahkan orang-orang terdekatnya. Karena itu, beberapa episode perpecahan dan mufaraqah sempat mewarnai kiprah politiknya, mulai dari Matori Abduljalil lalu Alwi Shihab hingga Muhaimin Iskandar. Meski diketahui bersebarangan dengan para petinggi NU, karena sikapnya yang tidak bisa “diatur”, Gus Dur, sebagai pemilik trah darah biru pendiri ormas Islam terbesar itu, masih dihormati dan dimaafkan atas semua pernyatannya. Kasus-kasus terkait dengan dugaan korupsi sempat menghinggapi namanya, tapi semua lenyap begitu saja. Boleh jadi, itu salah satu kelebihan dan kebesaran nama dan pengaruhnya.

Masa kepresidennya juga bisa dianggap sebagai masa paling kacau sejak lengsernya dinasti Orba. Tiada hari tanpa kontroversi dan kehebohan yang berujung pada pelengserannya dengan segala carut marut dan kelucuannya, termasuk keluarnya dektrit yang gagal meletus di penghujung kekuasaannya. Gus Dur dijungkalkan karena dianggap tidak akomodasionis, otoriter dan tidak cakap menjalankan peran eksekutif.

Di luar semua itu, ada beberapa poin positif dalam diri Gus Dur, antara lain kegigihan dan konsistensinya membela hak kaum minoritas etnis dan agama. Libur nasional Imlek adalah buah perjuangannya, yang secara tidak langsung bisa menghapus citra negatif Indonesia yang sebelumya tercoreng oleh kasus kerusuhan Mei yang diduga sangat merugikan etnis Cina di Indoensia, dan Jakarta utamanya.

Pembelaan Gus Dur terhadap kelompok-kelompok agama minoritas kadang malah menimbulkan kemirisan dan mengudang kecaman dari kalangan Islam, terutama yang tidak memiliki kesamaan teologis dengan NU yang notanene beraliran Sunni-Syafii. Gus Dur tanpa beban menghadiri misa dan acara-acara ritual Kristen. Sebagai orang yang sangat pandai dan terbuka, ia diyakini oleh sebagian kalangan mempunyai landasan teologis rasional di balik sikapnya itu.

Sikapnya terhadap minoritas Islam pun demikian.Penyataan monumentalnya “NU adalah Syiah kultural” (1) telah menjadi semacam perisai yang telah menyelamatkan banyak nyawa dan kehormatan para warga negara yang menjadikan Ahlulbait sebagai gerbang keyakinannya. Tentu, tidak semua kasus pelecehan dan penganiyaan terhadap penganut Syiah bisa diantisipasi dan digagalkan dengan pernyataan itu, namun setidaknya, itu mesti diakui memiliki pengaruh yang cukup. Dan karena itu, kita patut berterimakasih dan mengucapkan “Selamat jalan”. Semoga dosa-dosanya diampuni oleh Allah dan kebaikan-kebaikannya dibalas dengan ridha dan pahalaNya, amin.

Semoga NU dan para Muslim penganut mazhab Imam Syafii yang memilki kesamaan kultural dan teologis dengan mazhab Syiah dapat terus menjalin hubungan kian erat demi mengukuhkan Islam yang santun di bumi Indonesia tercinta.

Dalam rangka mengenang jasanya, Islamic Cultural Center bekerjasama dengan Keduataan Besar Iran akan menyelenggarakan Tahlil di Aula ICC malam ini (Kamis pukul 19.00) di Buncit raya kav. 35 Pejaten Barat- Jaksel.

(1)Dalam berbagai kesempatan, Gus Dur selalu mengatakan bahwa secara kultural, NU ada kesamaan dengan Syi’ah. Tradisi pemujaan wali, kepercayaan pada keramat, ziarah kubur, penghormatan kepada ahlul bait (keluarga Nabi: Ali, Fatimah, Hasan, Husen), adalah sebagian tradisi yang berkembang kuat di kalangan Syi’ah.

Muhsin Labib Notes , 31 Des 2009